POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN MENURUT UNDANG UNDANG CIPTAKERJA (10)
Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH***
Deskripsi Yuridis Tentang Pengelolaan Potensi Perikanan
UNDANG UNDANG Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang UndangNomor 45 Tahun 2009 (UU Perikanan) sebenarnya sudah cukup memberikan landasan, arah, dan kemajuan kebijakan tata kelola perikanan di Indonesia, tetapi pelaksanaannya dalam dua dekade terakhir dipandang belum berjalan baik. Hal itu berdampak pada kondisi stok ikan yang terus tertekan di semua unit WPP-NRI. Dalam kurun waktu 1999 hingga akhir 2014, pelaksanaan kebijakan dan penegakan hukum terhadap perikanan yang merusak (destructive fishing) dan perikanan ilegal yang merusak, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing/ IUU Fishing) memang telah berjalan tetapi tidak efektif.
Periode ini diwarnai kebijakan yang memberikan ruang bagi kapal perikanan asing melalui metode pemberian lisensi, charter, bilateral agreement, maupun impor kapal yang dibangun di luar negeri (eks asing) untuk melakukan penangkapan ikan di WPP-NRI. Sistem pengawasan yang lemah dan integritas pengelolaan yang korup menyebabkan praktik-praktik pengurasan sumber daya ikan oleh kapal-kapal ikan, baik lokal maupun asing, di WPP-NRI berlangsung tidak terkendali.
Dalam perkembangannya, keberadaan UU Perikanan dipandang semakin tidak relevan, terutama untuk menjalankan prinsip dan tuntutan terhadap pengelolaan perikanan yang lebih etis berkeadilan (ethical, just and fair fisheries) dan transparan (fisheries transparency). Selain itu, terdapat kebutuhan untuk menciptakan pengelolaan perikanan yang berbasis pendekatan kaidah kehati-hatian, riset, data, dan rekomendasi ilmiah (precautionary and science-based fisheries management approach). Lebih dari itu, ada kebutuhan untuk menghadirkan regulasi perikanan menjamin proses dan lingkup penegakan hukum yang lebih sistematis, terpadu, menyeluruh, dan memberikan efek jera.
Perubahan Strategis
Dengan segala kekayaan dan persoalan sektor kelautan dan perikanan, Indonesia membutuhkan regulasi yang mampu mendorong pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan. Faktanya, pendekatan dalam UU Ciptakerja justru berpotensi menghambat terwujudnya pembangunan berkelanjutan tersebut sebagaimana tergambar dalam sejumlah perubahan ketentuan sebagai berikut.
Perubahan pertama, berkenaan dengan izin Pengelolaan Perikanan, berubah menjadi persetujuan Perikanan. Bahwa salah satu prinsip dalam pembangunan berkelanjutan adalah rinsip pencegahan (preventive principle). Esensi izin lingkungan adalah untuk pencegahan. Akan tetapi, Pasal 22 angka 1 UU Ciptakerja justru menghilangkan izin lingkungan dan menggantinya dengan persetujuan lingkungan. Perubahan itu dilakukan semata untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh hak pengelolaan lingkungan. Padahal, ketika masih menggunakan instrumen izin lingkungan, pemegang izin wajib mencantumkan secara detail persyaratan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan untuk pemegang izin, sebagaimana diatur dalam Undang UndangNomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Kegiatan yang mencantumkan persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan upaya pengelolaan/pemantauan lingkungan hidup (UKL/UPL) diwajibkan untuk memiliki izin lingkungan. Dengan tidak adanya instrumen pencegahan yang ketat, ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir dapat terdampak karena perubahan izin menjadi persetujuan tersebut.
Perubahan kedua, berkenaan dengan mekanisme koordinasi antara kementerian dengan pemerintah pusat untuk memastikan pemanfaatan tetap pada batas keberlanjutan (sustainability limit) tidak diatur. Persoalan pengelolaan kelautan dan perikanan yang ada selama ini adalah perizinan yang panjang dan melibatkan banyak kementerian. Oleh karena itu, pemangkasan proses perizinan memang diperlukan untuk mengatasi kompleksitas perizinan yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun, environmental safeguards (pelindungan lingkungan) harus tetap dipertahankan. Dengan izin yang lebih sederhana tanpa diimbangi perspektif, UU Ciptakerja dikhawatirkan akan mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut.
Tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem, tidak akan ada kontrol atau kendali yang dapat menjaga tingkat pemanfaatan daerah pesisir dan ruang laut tersebut. UU Ciptakerja juga tidak mengatur mengenai mekanisme koordinasi yang kuat antara pemegang kewenangan izin (yang berada di lembaga yang bertanggung jawab langsung ke Presiden, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal) dengan kewenangan pengelolaan (yang dipegang oleh Menteri dan pemerintah daerah) untuk memastikan adanya fungsi kontrol dan kendali agar pemanfaatan tidak melebihi sustainability limit.
Perubahan Berikut
Perubahan ketiga, berkenaan dengan kewajiban penetapan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. Dalam hal ini dikecualikan jika terdapat kebijakan nasional bersifat strategis. Pasal 18 angka 14 UU Ciptakerja mengatur bahwa untuk pemanfaatan laut yang berkaitan dengan kebijakan nasional yang bersifat strategis, seperti pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi, perizinan berusaha dapat diberikan walaupun rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi belum ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu, menurut Pasal 18 angka 2, perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah ditetapkan pun dapat ditinjau kembali apabila terdapat rencana tata ruang dan/atau zonasi yang tidak sejalan dengan kebijakan nasional bersifat strategis.
Ketentuan tersebut akan mengabaikan esensi dari Rencana Tata Ruang dan Rencana Zonasi yang seharusnya memperhatikan daya dukung ekosistem. Pasalnya, Undang UndangNomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menegaskan bahwa penyusunan tata ruang harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Begitu juga Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang UndangNomor 1 Tahun 2014 (UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) yang menegaskan bahwa rencana zonasi juga ditetapkan dengan mempertimbangkan daya dukung ekosistem.
Ketentuan dalam Pasal 14 UU PPLH juga menegaskan bahwa tata ruang merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Menurut Pasal 19 UU PPLH, perencanaan tata ruang juga harus di dasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Selain itu, pengabaian esensi Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi juga bertentangan dengan Pasal 23 UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya harus memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan. Dampak dari menegasikan esensi Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi demi kebijakan strategis nasional itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun ekosistem.
Perubahan strategis keempat, berkenaan dengan ketentuan mengenai Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Ketentuan ini dihapus. Sekaitan dengan hal ini ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang UndangNomor 45 Tahun 2009 (UU Perikanan) menegaskan bahwa Menteri menetapkan potensi dan alokasi sumber daya ikan serta jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnaskajiskan).
Komnaskajiskan merupakan lembaga non-struktural independen yang memberikan rekomendasi kepada Menteri melalui penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai sumber daya ikan dari berbagai sumber, termasuk bukti ilmiah yang tersedia (best scientific evidence available) Keberadaan komisi itu juga ditujukan untuk mendorong peran sains dalam pengelolaan sumber daya perikanan.
Perubahan kelima, menyangkut sistem pengawasan dan penjatuhan sanksi yang tidak optimal untuk menjamin kepatuhan pelaku usaha, mencegah pelanggaran, dan menimbulkan efek jera. Ketentuan mengenai pengawasan tidak diatur secara rinci dalam UU Cipta Kerja. Pengaturannya diserahkan kepada Peraturan Pemerintah tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (PP NSPK) sebagaimana diatur Pasal 173 ayat (1) UU Cipta Kerja. Akan tetapi, jika mengacu pada Naskah Akademik UU Cipta Kerja, pengawasan dalam UU Ciptakerja akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan risk based monitoring atau pemantauan berbasis risiko. Intensitas pengawasan akan disesuaikan dengan tingkat risiko dari kegiatan usaha tersebut. Untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi akan mendapatkan pengawasan yang lebih ketat ketimbang pengawasan terhadap kegiatan usaha dengan risiko rendah.
Dengan demikian, jika peraturan mengenai pengawasan tidak diatur dengan detail, maka dikhawatirkan pemerintah atau aparat penegak hukum akan kehilangan kemampuan untuk melakukan pendeteksian pelanggaran oleh kegiatan yang berisiko rendah atau menengah. Akibatnya, respons dan penghukuman terhadap pelanggaran tersebut tidak akan terjadi. Hal ini dapat menyebabkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh kegiatan berisiko kecil atau menengah yang jika diakumulasi dapat menimbulkan kerugian yang besar.
Apalagi, izin yang selama ini dijadikan instrumen pencegahan baik untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah atau menengah juga dihilangkan dan hanya diberikan untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi. Hal ini akan menghilangkan peran izin sebagai instrumen pengawasan kepatuhan untuk kegiatan berdampak menengah dan rendah. Di sisi lain, dengan dipindahkannya kewenangan perizinan dari KKP ke pemerintah pusat untuk kegiatan yang berdampak tinggi, implementasi sistem pengawasan tersebut belum diketahui karena peraturan pelaksananya belum ada. Selain itu, Pasal 22 angka 28 UU Ciptakerja juga menghapus konsep pengawasan pada UU PPLH yang memberikan kewenangan kepada Menteri untuk melakukan pengawasan lapis kedua (oversight). Hal itu juga akan berimplikasi pada lemahnya pengawasan kepatuhan yang dapat dilakukan oleh kementerian.***(BERSAMBUNG)
*** Notaris di Kota Sampit, Pemerhati Hukum dan Sosial, Dosen STIH Tambun Bungai Kotawarngin Timur Kalimantan Tengah